30 Tahun Beroperasi, PT TPL Dituding Kriminalisasi Masyarakat Adat

Canyon Gabriel - Jumat, 19 April 2024 19:26 WIB
Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL berdemo menuntut PT TPL ditutup karena marampas tanah, menebangi hutan, mencemari air dan membuat hidup masyarakat adat terancam bencana alam (HO)

MEDAN - Menjelang siang, ratusan massa mengatasnamakan Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL memenuhi pintu masuk gedung DPRD Sumatera Utara. Pagar besi langsung ditutup, hanya pintu kecil untuk akses keluar masuk yang dibuka, itu pun cuma untuk mereka yang dikenal. Akhirnya, massa hanya berdemonstrasi di luar pagar. Pengamanan yang ketat membuat arus lalu lintas Jalan Imam Bonjol, tepat di depan gedung, tetap lancar.

Jauh-jauh datang ke Kota Medan, massa berdemonstrasi menuntut PT Toba Pulp Lestari atau PT TPL ditutup karena dinilai telah merampas hak masyarakat adat. Menghancurkan sumber hidup dengan mengganti hutan adat menjadi perkebunan eukaliptus yang tidak memberi manfaat apapun kepada masyarakat sekitar konsesi. Selama 30 tahun lebih beroperasi di Tanah Batak, perusahaan ini telah marampas tanah dan menebangi hutan. Masyarakat kini mengalami pencemaran air dan ancaman bencana alam.

"TPL adalah wujud ketidakadilan yang menyakitkan terhadap identitas dan budaya lokal. Sampai saat ini, tidak ada tindakan serius dari pemerintah untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat," kata Ketua Aliansi, Anggiat Sinaga, Kamis (18/4/2024).

Anggiat lalu menyebut beberapa tuntutan lain, yaitu: cabut izin PT TPL, bebaskan Sorbatua Siallagan tanpa syarat, hentikan semua intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang berjuang atas hak-haknya. Segera sahkan RUU Masyarakat Adat, hentikan penebangan hutan di kawasan Danau Toba, akui dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Selamatkan bumi dari krisis iklim dan sahkan Perda Masyarakat Adat di Sumut.

"Kami mendesak DPRD Sumut segera membentuk Pansus Percepatan Penyelesaian Masalah Masyarakat Adat dengan TPL. Kemudian, hentikan proses pengukuhan kawasan hutan negara tanpa melibatkan masyarakat adat," ucapnya.

Wakil rakyat yang menerima massa adalah Yahdi Khoir Harahap. Dia menanggapi proses hukum Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Kabupaten Simalungun, Sorbatua Siallagan. Ia berharap aparat hukum tidak meng-kriminalisasi dan mendiskriminasinya. Persoalan ini, menurutnya, bisa diselesaikan dengan kekeluargaan karena Sorbatua memperjuangkan hak-haknya.

"Saya akan beritahu Komisi A supaya mengetahui langkah yang diambil, apakah memanggil kepolisian atau tidak," katanya.

Menanggapi tuntutan lainnya, Yahdi menjelaskan, secara de facto perlindungan hak masyarakat hukum adat diakui. Namun secara de jure belum memadai karena belum ada undang-undang dan peraturan daerahnya.

"RUU Masyarakat Adat sudah di prolegnas. Kita akan desak diselesaikan. Saya akan menggelar RDP pada Mei nanti untuk menyelesaikan konflik ini, tuntas Yahdi.

Ditangguhkan...

Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Kabupaten Simalungun, Sumut, menjalani penangguhan penahanan dari Polda Sumut setelah dijamin belasan orang, salah satunya Staf Khusus Menkum HAM Bane Raja Manalu, Rabu, 17 April 2024.

Audo Sinaga selaku kuasa hukum Sorbatua dari Bakumsu mengaku akan kooperatif memenuhi panggilan polisi dan jaksa. Saat ini, pihaknya mengawal kasus sesuai pokok perkara dan belum mengambil langkah untuk mengajukan praperadilan atau prapid.

"Kami masih fokus ke pokok perkara," kata Audo di depan gedung DPRD Sumut, Kamis siang.

Kepala Bidang Humas Polda Sumut Kombes Polisi Hadi Wahyudi mengatakan, penangguhan penahanan adalah upaya mengeluarkan tersangka sebelum waktu penahanannya selesai. Ini bagian dari proses hukum dan diatur undang-undang. Penangguhan penahanan dapat dilakukan atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik, penuntut umum atau hakim sesuai kewenangan masing-masing.

"Penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, sesuai syarat yang disepakati,” kata Hadi.

Editor: Mei Leandha

RELATED NEWS