Kondisi Persaingan Usaha di Sumut

Mei Leandha - Senin, 03 Januari 2022 16:29 WIB
KPPU Kanwil 1 Medan (HO)

MEDAN - Di Kota Medan, masyarakat mempertanyakan penunjukan pengelola parkir elektronik yang dianggap terpilih tanpa melalui mekanisme lelang yang adil serta berpotensi melakukan monopoli. Badan Usaha Angkutan Sewa Khusus juga mempertanyakan kebebasan aplikator taksi online dalam merekrut, memberikan akses aplikasi dan mengoperasikan sendiri kendaraan tanpa izin penyelenggaraan angkutan sewa khusus. Badan usaha angkutan kota mengeluhkan tarif gratis angkutan massal Bus Metro Deli Trans yang mengakibatkan pelaku usaha angkutan kesulitan mendapatkan penumpang.

Di Kabupaten Mandailingnatal (Madina), masyarakat melaporkan pelaksanaan kemitraan usaha yang dianggap tidak adil dengan perusahaan perkebunan. Di Kabupaten Deliserdang, peternak mandiri mengeluhkan biaya pakan ternak yang semakin tak terjangkau yang diduga terjadi karena perilaku integrasi vertikal dari perusahaan pakan ternak. Di awal tahun, lonjakan harga kedelai impor juga sempat memukul industri pengrajin tahu tempe di Kota Medan.

Kita juga mencatat ramainya pemberitaan terkait mahalnya biaya rapid test dan obat-obatan terapi Covid-19. Di sektor penerbangan, kita dengar Bandara Kualanamu akan dikerjasamakan dengan pihak asing yakni PT GMR dari India. Di sektor pangan, masyarakat diresahkan dengan kenaikan harga minyak goreng yang dianggap tidak wajar. Sebelumnya, masyarakat petani juga diresahkan dengan kenaikan harga pupuk dan kelangkaan pupuk subsidi.

Kita semua mafhum, persoalan-persoalan di atas arahnya persaingan usaha. Secara ekonomi, untuk mendapatkan keuntungan yang berlimpah, pengusaha bersaing dengan kompetitornya, baik dalam bentuk kualitas produk, layanan maupun marketing. Semua dilakukan agar konsumen tertarik untuk membeli produk yang ditawarkan. Dalam praktiknya, persaingan usaha tidak selalu berjalan baik karena banyak pengusaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat dengan jalan yang tidak baik dan merugikan pelaku usaha lain ataupun konsumen.

Ada pengusaha yang menghalalkan segala cara untuk menarik konsumen agar membeli produknya. Pengusaha besar biasanya akan dengan mudah mengalahkan pengusaha yang lebih kecil karena kekuatan modal dan pengaruhnya. Pengusaha besar juga terkadang melakukan kartel dan monopoli. Pembentukan kartel oleh sejumlah pengusaha cenderung mengarah pada praktik monopoli sehingga pemegang hak monopoli dapat menentukan harga tanpa ada saingan.

Di sinilah regulasi yang mengatur persaingan usaha di kalangan pelaku bisnis menjadi sangat urgen. Dalam konteks hukum, persaingan usaha dimaksudkan untuk mengatur persaingan usaha di kalangan pelaku usaha agar tidak terjadi monopoli. Salah satu tujuan dari lahirnya hukum persaingan usaha adalah mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.

Indeks persaingan

Iklim usaha yang kondusif merupakan suatu kondisi yang diharapkan bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Dengan terciptanya suatu iklim usaha yang sehat dan kondusif akan memberikan dampak positif yang signifikan, baik secara makro maupun mikro. Secara makro, iklim usaha yang sehat dan kondusif dapat mendorong masyarakat untuk memulai investasi-investasi baru, yang kemudian akan berdampak pada peningkatan dan perkembangan ekonomi nasional, sedangkan secara mikro hal ini akan menguntungkan pihak suplier atau produsen, seperti petani, nelayan, ataupun suplier lokal lainnya, yang kemudian akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bekerja sama dengan Universitas Padjajaran (Unpad) baru saja merilis indeks persaingan usaha. Hasilnya, indeks persaingan di Indonesia pada 2021 naik dari 4,65 menjadi 4,81 dari skala tujuh. KPPU optimistis nilai indeks persaingan usaha sebesar lima atau sesuai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dapat tercapai pada 2024. Selain menjadi indikator kinerja KPPU dalam menjalankan tugasnya, pengukuran indeks persaingan tersebut cukup penting karena dapat memberikan indikasi apakah daya saing dan produktivitas serta efisiensi sektor ekonomi di Indonesia tersebut semakin baik atau tidak.

Indeks persaingan usaha sendiri merupakan suatu indikator tingkat persaingan usaha di perekonomian. Pengukurannya berdasarkan survei persepsi kepada pemerintah, pelaku bisnis dan publik yang dilakukan di 34 provinsi. Survei ini ditujukan untuk memperhatikan persepsi publik atas tingkat persaingan usaha dan menentukan berbagai hal yang perlu menjadi perhatian bagi pemerintah dan KPPU dalam menyikapi persoalan persaingan usaha di masa mendatang.

Tujuh dimensi dalam survei yakni:
1. Struktur (jumlah perusahaan, konsentrasi pasar, diferensiasi produk, hambatan masuk)
2. Perilaku (koordinasi antar perusahaan, penetapan harga, promosi, riset)
3. Kinerja (efisiensi, profit, produktivitas, output, adaptasi teknologi)
4. Permintaan (elastisitas, subsitusi, pertumbuhan pasar)
5. Pasokan (teknologi, lokasi, akses input)
6. kelembagaan (pemahaman tentang UU5/99 tentang KPPU, prinsip persaingan usaha) dan
7. regulasi (Kebijakan daerah terkait dengan persaingan usaha)

Selain indeks persaingan, alat ukur dalam ekonomi industri untuk menilai efisiensi suatu sektor ekonomi adalah dengan menerangkan tingkat keuntungannya, salah satunya menggunakan indikator Price Cost Margin (PCM). PCM merupakan selisih atau jarak antara harga yang terjadi di pasar dengan tingkat biaya marginal dari perusahaan atau dengan kata lain bisa disebut margin laba perusahaan. Tingkat PCM yang tinggi dapat tercipta jika terdapat monopoly power atau rasio konsentrasi yang tinggi atau rantai pasok yang tidak efisien.

Kondisi persaingan usaha di Sumut

Penelitian terkait indeks persaingan usaha di daerah diukur berdasarkan survei persepsi para pemangku kepentingan (stakeholder) di masing-masing provinsi yang meliputi Dinas Perindustrian Perdagangan, Bank Indonesia, KADIN dan akademisi daerah setempat. Hasil pengukuran indeks persaingan usaha 2021 menempatkan Provinsi Sumut pada peringkat ke-13 dari 34 provinsi dengan skor 4,99.

Nilai ini meningkat 0,62 poin dibanding tahun sebelumnya. Dari sisi peringkat, juga terjadi lonjakan dari sebelumnya di peringkat 28. Secara umum persaingan usaha di Sumut masuk dalam kategori Persaingan Sedikit Tinggi, seluruh responden mempersepsikan demikian.

--------------------------------------------------------------------------------------------------
No Dimensi 2020 2021 Perubahan
1 Kelembagaan 4,71 5,39 0,68
2 Penawaran 5,14 4,92 -0,22
3 Permintaan 3,72 4,34 0,62
4 Regulasi 4,82 6,16 1,34
5 Kinerja 4,31 5,24 0,93
6 Perilaku 3,31 4,14 0,83
7 Struktur 4,58 4,71 0,13
Rata-rata 4,37 4,99 0,62
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Dilihat dari dimensi yang diukur, dimensi regulasi memiliki rata-rata skor tertinggi sebesar 6,16. Sementara dimensi perilaku merupakan dimensi dengan rata-rata terendah sebesar 4,14. Hal tersebut mengindikasikan bahwa regulasi pada daerah yang ada di provinsi ini telah mendorong terciptanya persaingan usaha yang tinggi. Meskipun sebagian responden menyatakan terdapat hambatan untuk memasuki pasar di Sumut. Hal ini dikarenakan adanya masalah perizinan yang tidak sejalan antara provinsi dengan daerah.

Sementara rendahnya skor dimensi perilaku menunjukkan bahwa pelaku usaha di Sumut masih relatif berperilaku yang mengarah pada persaingan tidak sehat seperti pemanfaatan kekuatan pasar dalam penentuan harga, melakukan koordinasi dalam penetapan output dan harga, relatif kurang melakukan iklan dan relatif kurang melakukan riset dan pengembangan.

Dari sisi kinerja pasar, berdasarkan indikator harga diketahui bahwa harga barang dan jasa di Sumut relatif lebih mahal di banding daerah sekitar. Sebagian kecil responden juga menyatakan terdapat hambatan investasi di Sumut. Lebih jauh terkait indikator harga, tim juga melakukan pengukuran terhadap indikator PCM. Hasilnya, empat sektor lapangan usaha skor tertinggi yaitu pertanian/kehutanan, pengolahan, perdagangan besar eceran dan konstruksi.

Ironisnya, hasil pengukuran PCM menandakan bahwa sektor dengan margin yang diambil relatif tinggi dibandingkan biaya produksinya justru berada di sektor yang menyumbang 60,8 persen dari total ekonomi Sumut yakni pertanian, kehutanan dan perikanan; industri pengolahan; perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor.

Di sektor perkebunan misalnya, data menunjukan kelapa sawit yang merupakan komoditas unggulan sektor perkebunan di Sumut tercatat produksinya 41 persen dari seluruh total hasil perkebunan. Namun tingginya harga TBS dari Sumut belum dinikmati petani kecil secara lebih merata. Nyatanya, pengelolaan perkebunan sawit membutuhkan modal yang sangat besar untuk mencapai tujuan dan menghasilkan hasil yang maksimal. Maka diperlukan sebuah sistem yang dapat meningkatkan dan mengangkat usaha kecil menjadi usaha yang lebih besar yaitu kemitraan.

Tindak lanjut

Dalam upaya meningkatkan indeks persaingan usaha demi menciptakan suatu iklim usaha yang sehat dan kondusif, KPPU ikut andil melalui perannya sebagai lembaga pengawas. Namun, meski hukum telah ditegakkan, fakta empiris menunjukkan bahwa masih banyaknya praktik monopoli yang dilakukan oleh pengusaha dalam berbisnis. Untuk itu, KPPU perlu memperluas aspek kerja sama dengan menggandeng berbagai pemangku kepentingan, baik perguruan tinggi, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, maupun organisasi non-pemerintah. Langkah ini penting mengingat persoalan dunia usaha semakin kompleks, serta membutuhkan kepastian hukum dan tata kelola pengawasan yang dapat diandalkan.

Kedua, harus ada upaya menurunkan PCM melalui proses persaingan di sektor terkait sehingga turnover ekonomi dan efisiensi di sektor tersebut meningkat. Terkait dengan sektor perkebunan dan pertanian, KPPU melalui Kanwil 1 harus mengintensifkan pengawasan kemitraan usaha antara petani plasma dan perusahaan inti di sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit. Nyatanya, baru 2 persen pemegang HGU yang memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat dari luas tanah yang dimohon HGU untuk masyarakat sekitar dalam bentuk kemitraan (plasma) sesuai dengan izin kegiatan usaha.

Ketiga, terkait dimensi struktur pasar dan perilaku yang cenderung stagnan atau menurun, harus menjadi perhatian KPPU melalui Kanwil 1 untuk wilayah kerja terkait. Dimensi perilaku mengindikasikan bahwa terdapat menguasaan pasar oleh beberapa pelaku usaha, adanya potensi kerja sama dalam penetapan output dan harga dan lain sebagainya yang mengarah pada persaingan usaha yang rendah. Tercatat sepanjang 2021, terdapat 45 laporan yang masuk, 28 diantaranya berasal dari provinsi Sumut dan masih didominasi sektor konstruksi terkait persekongkolan tender. [Ridho Pamungkas, Kepala KPPU Kanwil 1 Medan]

Editor: Dinda Marley

RELATED NEWS