Menyusuri Raibnya "Beringin Satu", Terpidana Korupsi Rp39,5 Miliar di BTN Medan

Canyon Gabriel - Senin, 07 Agustus 2023 19:35 WIB
Mujianto menjadi salah satu terdakwa korupsi kredit macet di BTN Cabang Medan yang merugikan keuangan negara sebesar Rp39,5 miliar (HO)

MEDAN - Matahari masih menyengat saat tim dari Klub Jurnalis Investigasi (KJI) mendatangi Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Kantor Cabang Medan di Cemara Asri, Jalan Cemara Boulevard Blok G/1 No. 1-3, Medan Estate, Kecamatan Percutseituan, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara.

Menuju meja penerima tamu yang ditunggui dua laki-laki yang kompak mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Usai menyampaikan maksud ingin bertemu Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Kota Medan, Mujianto. Keduanya menjawab, dia tidak berada di lokasi dan jarang sekali datang ke kantor.

"Kami pun sebagai petugas jarang berkomunikasi dengan beliau," ucap salah seorang dari mereka yang tak mau disebut namanya, Sabtu (15/7/2023).

Tim meminta bertemu dengan wakil ketua atau siapa saja yang bisa ditemui, kedua petugas itu, menyarankan berbincang lewat telpon dengan sekretaris yayasan. Saat nomor yang diberikan dihubungi, tidak ada jawaban dari seberang. Belum habis akal, tim bertanya kepada salah seorang petugas keamanan di Komplek Cemara Asri, di mana rumah Mujianto. Dia menyebut Jalan Sena.

Bergegas menuju alamat yang disebut, sayangnya petugas keamanan di gerbang masuk menghalangi. Meminta identitas, menanyai mau ke mana dan hendak bertemu siapa. Tim mengaku wartawan dan hendak mewawancarai Mujianto. Petugas itu kembali bertanya apakah sudah membuat janji sebelumnya, tim menggeleng.

Dia lalu mengambil walkie talkie dengan kabel terlilit, menghubungi penjaga rumah Mujianto dengan kode Beringin Satu. Jawaban yang diterima, Direktur PT Agung Cemara Realty (PT ACR) itu, tidak ada di rumah. Tim meminta izin agar diperkenankan masuk melihat kondisi rumah dan berbincang dengan beberapa tetangga. Petugas melarang, alasannya tidak ada orang di sekitar rumah Mujianto. Ketika akan mengabadikan suasana sekitar komplek, kembali larangan dilontarkannya.

"Saya hanya menjalankan tugas saja. Mujianto jarang ke mari dan jarang sekali terlihat..." ucapnya.

Tim KJI kembali mendatangi rumah Mujianto pada Selasa (1/8/2023). Lagi-lagi, petugas keamanan yang berjaga di depan Jalan Sena mengatakan Mujianto tidak berada di tempat dan tidak mengizinkan orang tak dikenal mendokumentasikan rumahnya.

“Kalau belum ada janji, pihak keamanan rumah Pak Mujianto melarang mengambil dokumentasi atau yang lainnya. Mohon maaf...” katanya menggeleng saat diminta menyebutkan nama.

Tim coba masuk ke Jalan Sena melalui ruas jalan lain. Berdasarkan pantauan, ada sekitar 12 rumah mewah berdiri di jalan ini, luasnya kira-kira 600 meter persegi. Ada dua rumah yang sedang masa pembangunan. Namun, tidak ada tetangga yang bisa ditanyai, pagar-pagar rumah tinggi dan tertutup.

Lagi-lagi coba mendapat informasi dari petugas keamanan yang tengah berjaga di salah satu rumah di Jalan Sena. Dia mengatakan, rumah Mujianto memang di Jalan Sena, tetapi dirinya tidak pernah ke rumah tersebut.

Kebetulan saya punya teman yang kerja di salah satu perusahaan Pak Mujianto. Memang katanya, rumahnya di sekitar sini, tapi yang tinggal hanya beberapa saudara atau keluarga saja. Dia jarang ke sini, kata pria berinisial RP ini sambil mewanti-wanti agar namanya tidak dimasukkan dalam pemberitaan.

Tim juga kembali mencoba menemui pengurus Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Kantor Cabang Medan. Petugas penerima tamu yang ditemui mengatakan pengurus sedang tidak berada di lokasi.

Mujianto juga tidak ada di rumah Jalan Prisma 1, Blok B2/10 RT 006/RW 007, Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Kebon Jeruk, Kota Jakarta Barat, saat jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan datang untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Nomor 2082 K/Pid.Sus/2023. Berita acara pencarian terpidana ditandatangani ketua Rukun Tetangga (RT). Kejaksaan Tinggi Sumut lalu menetapkan status Mujianto sebagai buronan pada 5 Juli 2023.

Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejati Sumut Yos A Tarigan ketika ditanya alamat rumah Mujianto yang didatangi tim eksekusi, menyebut alamat kantor PT ACR di Jalan Sudirman Nomor 29, Kecamatan Medanmaimun, Kota Medan.

"Yang dekat rumah dinas gubernur, alamat itu dibuat domisilinya," kata Yos.

Ditanya apakah tim Kejari Medan sudah mendatangi rumah Mujianto di Jakarta dan Komplek Cemara Asri, dia memastikan sudah dan akan terus memonitor perkembangan. Info yang didapat menyebut Mujianto sedang sakit. Ditanya sakit apa dan dirawat di mana, Yos mengaku tidak mendapat informasinya.

"Ndak ada terinfo ke Kejari, Kak... Siapa yang bilang dia sakit?" tanya Yos.

Dijawab penasihat hukum, Yos bilang, “Kacau mereka, intinya tetap mencari untuk melaksanakan eksekusi. Di mana pun akan diburu. Apabila dapat akan diumumkan ke publik. Jaksa eksekutor dan jajaran tengah bekerja, seharusnya sebagai warga negara yang baik, menghormati putusan Mahkamah Agung.”

Mujianto Alias Anam sebagai direktur PT ACR ebelumnya menjadi salah satu terdakwa dalam perkara kredit macet di Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Medan yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp39,5 miliar.

Dia didakwa melanggar Pasal 2 Subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-2 KUHPidana jo Pasal 5 ke-1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Pada 18 November 2022, Jaksa Penuntut Umum Isnayanda menuntutnya pidana penjara sembilan tahun. Denda Rp1 miliar dengan subsider satu tahun kurungan. Membayar Uang Pengganti Rp13 miliar, jika tidak dibayar dalam satu bulan setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap, harta bendanya disita untuk dilelang. Kalau tidak mencukupi, diganti pidana penjara 51 bulan.

Alasannya, Mujianto dinilai bersalah melakukan korupsi, TPPU, tidak mengakui dan menyesali perbuatannya. Padahal, apa yang dilakukannya merugikan masyarakat karena menikmati hasil kejahatan dari kerugian negara.

Sony Immanuel Tarigan, ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan yang menyidangkan perkara Mujianto pada 23 Desember 2022, menjatuhkan vonis bebas dari dakwaan dan tuntutan (Vrisjpraak).

Jaksa mengajukan kasasi dan dikabulkan Mahkamah Agung. Putusan yang dilansir dari website MA pada 20 Juni 2023 menyebut: terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang TPPU. Menjatuhkan vonis sembilan tahun penjara. Membayar Uang Pengganti kerugian negara sebesar Rp13,4 miliar dengan subsider empat tahun penjara.

Rurita Ningrum, hakim ad hoc perkara Mujianto ketika diminta tanggapannya terkait putusan Kasasi tersebut, lewat pesan singkat memberi alasan bahwa keputusan hakim tidak boleh dikomentari. Dia mengarahkan untuk menghubungi ketua majelis hakimnya saja.

Sony lewat sambungan telepon mengatakan, putusan di tingkat yang lebih tinggilah yang menjadi pedoman dalam pengembangan perkara Mujianto.

Dirinya membantah tudingan suap yang membuat majelisnya membebaskan Mujianto. Menurut Sony, pertimbangan hakim di dalam persidangan hanya majelis hakim yang mengetahui. Secara etika tidak bisa ditanggapi karena sudah diberi kewenangan untuk menangani perkara.

Begitu jaksa hendak mengeksekusi, Mujianto raib. Tudingan kalau kliennya melarikan diri dibantah penasihat hukum Mujianto, Surepno Sarfan. Dikonfirmasi lewat sambungan telepon, dia mengaku sudah memberi pandangan dan nasihat bahwa kabur dari proses hukum akan lebih sulit dan Mujianto menerimanya.

Dalam surat permohon pengunduran waktu pelaksanaan eksekusi kepada Jaksa Agung, Kepala Kejati Sumut dan Kepala Kejari Medan bertanggal 5 Juli 2023, pihaknya menyatakan Mujianto sedang menjalani perobatan. Kliennya akan kooperatif memenuhi pelaksanaan eksekusi setelah menerima salinan putusan dan pulih kesehatanya.

"Intinya kalau sudah terima salinan, klien kami tinggal menyerahkan diri saja..." kata Surepno.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan Irvan Saputra mengkritik kinerja jaksa. Katanya, pasca diputus bersalah pada 22 Juni 2023, jaksa penuntut umum diduga telah memperoleh salinan putusan dari kepaniteraan Mahkamah Agung. Namun tidak segera mengeksekusi terpidana dengan alasan harus mempelajari putusan tersebut.

"Ada jeda waktu sekitar dua minggu setelah vonis MA. Kaburnya Mujianto menjadi preseden buruk penegakan hukum di Sumut. Secara hukum, LBH Medan meminta Kejaksaan Agung memeriksa jaksa yang menangani perkara a quo. Kami menduga ada kelalaian dan kejangaalan terhadap lamanya eksekusi," kata Irvan.

Pasal 270 KUHP menyatakan pelaksaana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilaksanakan oleh jaksa. Seharusnya jaksa segera melakukan eksekusi terhadap Mujianto. Ditambah lagi tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka penegakan hukumnya harus luar biasa pula. LBH Medan menduga jaksa berleha-leha mengeksekusi Mujianto yang ditetapkan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) pada 5 Juli 2023.

"Kami juga menyoroti banyaknya DPO di Sumut, baik di kepolisian dan kejaksaan yang belum ditangkap. Sampai hari ini, belum ada aturan yang jelas dan tegas terkait DPO.

LBH Medan mendesak segera ditindaklanjuti negara untuk memberi keadilan, kepastian hukum dan rasa aman kepada rakyat," tegas Irvan.

Yudi Pratama dari Sentra Advokasi Hak Dasar Rakyat (SAHdaR) yang memantau kasus sejak awal mengungkapkan, putusan Kasasi Mujianto memberi rasa adil bagi masyarakat. Sedari awal, pihaknya menilai kasus ini klasik, modus operandinya sudah biasa di dunia perbankan.

Pengembalian kerugian negara sebesar Rp13 miliar juga tepat, sesuai kredit macet yang belum dibayarkan.

"Jaksa harusnya segera mengeksekusi putusan kasasi tersebut agar memberi efek jera Mujianto dan pelaku korupsi dengan modus yang sama di sektor perbankan," katanya.

Kalau sekarang Mujianto entah ke mana, menurut Yudi, ini bentuk perlawanan koruptor terhadap hukum. Kejaksaan harus serius melakukan pencarian agar masyarakat tidak beranggapan hukum dapat dibayar.

"Ingat, Mujianto adalah orang kaya berat, konglomerat di Medan," imbuhnya.

Koordinator SAHdaR Ibrahim Puteh mendesak Kejati Sumut segera menangkap Mujianto dan meminta penjamin untuk membantu penangkapannya. Selain itu, dia mengkritik PN Medan yang mengabulkan penangguhan penahanan dan menjatuhkan vonis bebas terhadap Mujianto. Harusnya, hakim melihat rekam jejak Mujianto sebelum mengambil keputusan tersebut.

Mujianto tidak hanya sekali menjadi buronan perkara pidana. Sebelum penangguhan penahanan diberikan, sudah banyak pihak yang mengingatkan. Akibatnya, putusan Kasasi terancam tidak dilaksanakan karena Mujianto kepalang kabur," kata Ibrahim.

Menurut dia, majelis hakim mencabut hak penangguhan penahanan karena Mujianto merugikan keuangan negara sebesar Rp35 miliar. Banyak kasus lain dengan kerugian yang lebih kecil tidak menerima penangguhan penahanan. Pihaknya menduga ada pengistimewaan terhadap Mujianto, padahal tindak pidana yang dilakukannya masuk dalam kategori kejahatan luar biasa.

"PN Medan harus evaluasi penanganan kasus-kasus korupsinya. Jelaskan kepada publik apa alasan pemberian penangguhan penahanan kepada Mujianto. Padahal dia sering mangkir dari proses penegakan hukum, supaya tidak timbul persepsi bahwa pemberian penangguhan mudah didapat bagi orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan," ucap pegiat antikorupsi ini.

Jejak masa lalu

Mujianto menjadi narapidana kredit macet di BTN Cabang Medan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp39,5 miliar. Namun, mulai penetapan tersangka sampai penahanan di Rumah Tahanan Negara Tanjung Gusta Kelas 1 Medan, banyak kejanggalan yang dipertontonkan.

Praktisi hukum Muslim Muis bilang, Mujianto punya rekam jejak yang buruk dalam proses penegakan hukum. Dia pernah menjadi buronan Polda Sumut, masuk DPO, kemudian ditangkap petugas imigrasi di Cengkareng pada 2018. Saat itu, Mujianto menjadi tersangka penipuan penimbunan lahan senilai Rp3 miliar di Belawan, pelapornya adalah pengusaha Armyn Lubis. Setelah berkasnya dilimpahkan ke Kejati Sumut, dengan memberi uang jaminan sebesar Rp3 miliar, penahanannya ditangguhkan.

"Tidak ada sistem seperti itu dalam protap kejaksaan. Ini bukti kesaktian Mujianto. Apakah kesaktiannya akan berlanjut di kasus BTN? Tergantung keseriusan penegak hukum, terutama kejaksaan dan majelis hakim yang menyidangkan perkara, kata Muslim.

Mujianto sebagai Direktur PT ACR pernah terlibat kasus tanah eks HGU di Pasar 4, Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Kabupaten Deliserdang, Sumut, pada 2015. Perusahaannya membangun dan menjual ruko dilahan tersebut, namun yang dihukum malah tokoh masyarakat Tamin Sukardi yang sudah meninggal dunia.

Menurut Muslim, kasus ini harusnya menjadi pintu masuk Kejaksaan Agung melakukan bersih-bersih terhadap oknum jaksa nakal. Mulai dari menyidik sampai yang melakukan eksekusi. Kasus Tamin tercatat dalam sejarah sebagai satu-satunya terpidana korupsi tanah negara, padahal hanya berperan sebagai saksi perjanjian dengan PT ACR.

Penyidik juga melakukan blunder dengan menyita tanah seluas 20 hektar yang tidak pernah ada, yang diduga sengaja diciptakan agar Tamin bisa lengket. Dalam penyidikan dugaan korupsi, dakwaan dan tuntutan disebutkan untuk 106 hektar namun yang disita 126 hektar.

Ini aneh, Almarhum Tamin dan keluarganya berhak mendapatkan keadilan dalam kasus ini, tegas Muslim.

Putusan kasus Tamin juga rancu karena pertama kali dalam sejarah peradilan Indonesia, ada putusan Tipikor bernuansa perdata yang menguntungkan Mujianto. Saat eksekusi putusan pada 2019, kejaksaan mengembalikan tanah seluas 74 hektar kepada Mujianto, membebankan pembayaran kewajibannya ke Tamin sebesar Rp103 miliar dengan cara dicicil.

Perlakuan khusus Kejati Sumut yang waktu itu dipimpin Fachruddin dan Kepala Kejari Deliserdang Harli Siregar harus dievaluasi Jaksa Agung karena tanah seluas 74 hektar dikembalikan ke Mujianto hanya dengan membayar cicilan pertama sebesar Rp12,9 miliar. Cicilan kedua Rp5 miliar, tiga tahun kemudian tepatnya April 2022, Mujianto terjerat kasus kredit macet BTN.

Muslim saat itu berharap, Mujianto tidak diberi penangguhan penahanan selama menjalani proses hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial (KY) diminta turun tangan mengawasi jalannya proses persidangan. Faktanya, majelis hakim mengabulkan penangguhan penahanan Mujianto dari tahanan Rutan menjadi tahanan kota pada 15 Agustus 2022.

Pertimbangannya: ada jaminan dari istri, penasihat hukum, ketua Yayasan Pendidikan Cemara Asri Malahayati, Ketua Yayasan Pondok Pesantren Majelis Zikir Ashsholah Daarussalaam Muhammad Dahrul Yusuf dan Ketua Yayasan Pendidikan Mazila Muhammad Iskandar Yusuf. Selain itu, uang jaminan sebesar Rp500 juta dan surat keterangan dari RS Royal Prima Medan yang menyebut Mujianto suspek jantung dan hipertensi.

Sontak, keputusan hakim mendapat protes Komite Rakyat Bersatu (KRB), mereka berunjukrasa ke PN Medan pada 30 Agustus 2022. Menuntut Mujianto dan Elviera ditahan kembali, demi rasa keadilan. Massa mempertanyakan alasan penyakit jantung yang terindikasi RS Royal Prima Medan tidak pernah mengeluarkan diagnosanya. Kejaksaan Negeri Medan juga menegaskan, sebelum penahanan telah melakukan cek kesehatan melibatkan tim medis RSU dr Pirngadi Medan yang hasilnya menyatakan Mujianto sehat walafiat.

Koordinator Aksi Johan Merdeka mengancam akan melaporkan ketua PN Medan dan majelis hakim yang menyidangkan ke Mahkamah Agung. Dia curiga ada praktik suap dan gratifikasi karena putusan hakim dinilai diskriminatif.

"Majelis hakim menjadikan Mujianto tahanan kota, padahal dia diberatkan dengan kasus korupsi Rp39,5 miliar," kata Johan.

Meski gelombang protes terus berdatangan, majelis hakim tak peduli dituduh menyalahi aturan hukum, melakukan diskriminatif dan diduga menerima gratifikasi. Mereka malah kembali melukai hati rakyat dengan vonis bebas. Mahkamah Agung menganulir putusan hakim PN Medan. Sayangnya, Mujianto sudah raib.

***

Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Provinsi Sumut terdiri dari Tempo, Tribun Medan, LBH Medan dan hallomedan.co. Telah mengikuti Sekolah Anti Korupsi (Sakti) yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW). Sebelumnya, Anugerah Karya Jurnalistik Antikorupsi (AKJA) 2022 Regional Aceh, Sumatera Utara, Banten dan NTT memilih "Balada Mujianto, "Robin Hood" dari Medan yang Kini Jadi Pesakitan" masuk Kategori Karya Jurnalistik Antikorupsi Terfavorit Sumut.

Editor: Mei Leandha

RELATED NEWS